Bangkit Dari Keterpurukan
Saat
kenaikan kelas, dari kelas 2 ke kelas 3, Prestasi akademisku belum
berubah, masih bertahan di rangking 34 dari 40 siswa. Itu artinya aku
naik kelas dengan nilai pas-pasan. Masih untung aku bisa naik kelas.
Yang sering aku khawatirkan adalah jika saat ujian semester (Evaluasi
Belajar Akhir Semester / EBAS) aku berada dalam masa depresi. Karena
saat depresi, jangankan mengerjakan soal-soal ujian yang rumit, berpikir
pun aku seperti tak bisa. Beruntung, hampir setiap waktu ujian selalu
bertepatan dengan episode mania.
Kekhawatiranku yang lain adalah
jika waktu ujian kelulusan nanti aku berada dalam episode depresi,
karena jika itu terjadi bukan tidak mungkin aku tidak akan lulus.
Memasuki kelas 3, kondisi mentalku belum banyak berubah, siklus depresi
dan mania masih terus berlangsung. Seperti lingkaran setan yang entah di
mana ujungnya.
Meski demikian aku tidak pasrah dan berdiam diri,
apa lagi putus asa, hanya menunggu nasib baik dan keajaiban datang. Aku
tidak ingin membiarkan diriku terus terpuruk semakin dalam. Aku
berusaha mencari informasi sebanyak mungkin tentang gangguan jiwa yang
aku derita, baik dari buku-buku psikologi, majalah maupun surat kabar.
Aku mencoba mempraktikkan beberapa metode terapi yang aku pelajari.
Walaupun hasilnya tidak langsung terasa, paling tidak aku punya harapan
kondisi jiwaku akan membaik di kemudian hari.
Aku juga mulai
membuka diri dan melibatkan diri dalam berbagai aktivitas di lingkungan
sekolah maupun di rumah. Aktif dalam Kegiatan-kegiatan Olah Raga di
kampung, aku mulai berusaha menyempatkan diri mengikuti
kegiatan-kegiatan olah raga, terutama olah raga permainan bola voli
setiap sore hari. Olahraga ini sebenarnya sudah aku tekuni sejak aku
masih di SD, tapi karena postur tubuhku yang kurang mendukung,
kemampuanku dalam olah raga permainan ini kurang berkembang.
Ayah
pun—yang sebelumnya jarang memberiku waktu untuk bermain— memberiku
keleluasaan untuk ikut dalam kegiatan-kegiatan olahraga di sekolah
maupun di kampung. Ayah tidak ngomel lagi kalau aku pulang dari sawah
atau kebun agak siang, asal pekerjaanku sudah beres. Ayah juga tidak
melarangku jika malam hari aku nonton acara-acara hiburan di desaku
bersama teman-temanku. Bahkan ayah tidak ngomel kalau sepulang dari
mesjid aku tidak belajar dan hanya nonton TV sampai larut malam.
Sepertinya ayah maklum dengan apa yang aku lakukan, karena ayah sudah
mengetahui dan memahami gangguan jiwa yang aku alami.
Olahraga yang Sangat Aku Sukai
Di
sekolah aku juga lebih aktif mengikuti kegiatan-kegiatan olahraga
khususnya bola voli dan renang. Kebetulan pada semester lima ada materi
pelajaran olahraga tentang renang dan akan ada tes praktik renang selain
teori. Dua minggu sekali secara bergiliran tiap kelas belajar renang
bersama di kolam renang kota kabupaten, yang jaraknya dari sekolah
sekitar 30 km.
Sejak itu aku jadi ketagihan renang. Bersama
beberapa orang teman, seminggu sekali, sepulang sekolah aku pergi ke
kolam renang sekalian rekreasi. Hobi baruku ini, selain menyenangkan
ternyata sangat bermanfaat untuk kebugaran dan terutama perkembangan
tubuhku. Tinggi badanku yang tadinya hanya sekitar 150 cm, setelah
beberapa bulan berlatih renang bertambah hampir mencapai 160 cm. Postur
tubuhku pun kelihatan lebih berisi dan tidak kerempeng lagi.
Perkembangan fisik yang cukup baik dan tergolong cepat ini membuatku
lebih percaya diri. Aku semakin termotivasi untuk lebih aktif
berolahraga.
Selain di sekolah, di kampung juga aku semakin
giat dan bersemangat mengikuti latihan-latihan fisik maupun teknik
bersama rekan-rekan tim bola voli. Senior-seniorku di tim selalu memberi
dukungan dan dorongan semangat, bahwa dengan postur tubuhku yang cukup
tinggi aku bisa menjadi pemain andalan di tim. Semakin lama aku semakin
menyukai olahraga permainan ini. Aku semakin terpacu untuk berlatih dan
terus berlatih agar aku benar-benar bisa menjadi pemain andalan yang
disegani oleh lawan maupun kawan. Aku berlatih keras baik latihan fisik,
teknik maupun mental.
Kerja kerasku mulai menampakan hasil,
kemampuan fisik, teknik dan mentalku mengalami peningkatan yang cukup
pesat. Beberapa bulan kemudian aku sudah masuk tim inti. Aku mulai
sering ikut dalam pertandingan-pertandingan persahabatan dengan tim-tim
bola voli daerah lain. Aku bukan hanya menyukai permainan ini, tapi bisa
dibilang sudah kecanduan. Tidak enak rasanya kalau sehari saja tidak
main. Kesukaan bermain voli ini ternyata bukan hanya berpengaruh
positif terhadap kebugaran dan pertumbuhan fisikku, tanpa aku sadari
juga berpengaruh terhadap kondisi mentalku.
Sejak aku aktif mengikuti kegiatan olahraga, aku merasakan perubahan dalam diriku. Intensitas tekanan manic depressive mengalami
penurunan yang signifikan, serta siklusnya mengalami perlambatan secara
bertahap. Perlahan tapi pasti aku merasakan gairah dan semangat hidupku
tumbuh kembali. Pikiran-pikiran negatif mulai berkurang digantikan oleh
pikiran-pikiran positif. Kecemasan, kegelisahan dan keyakinan-keyakinan
aneh yang telah sekian lama bercokol dalam pikiran sedikit demi sedikit
mulai berkurang.
Kondisi jiwaku yang mulai membaik berimbas
positif terhadap prestasi belajarku di sekolah. Akhir semester 5 aku
masuk ranking 20 besar. Prestasi yang cukup menggembirakan ini semakin
menambah semangat belajarku, aku ingin meraih kembali kisah sukses
belajarku seperti dulu sebelum sakit. Selain giat belajar dan
berolahraga, aku juga terus mencari dan mempelajari artikel-artikel
kejiwaan dan kesehatan mental dari buku-buku, surat kabar dan majalah.
Lalu sebisa mungkin mempraktikannya dalam aktivitas sehari-hariku.
Aku
juga berusaha untuk terus-menerus menambah wawasan dan pengetahuan
tentang apa saja, memperluas ruang lingkup pergaulan, serta membuka diri
terhadap saran, kritik dan nasehat dari teman, sahabat dan orang tuaku
sendiri. Aku tak lagi memilih-milih teman atau lingkungan pergaulan.
Patokanku, yang penting aku tidak melanggar hukum dan nilai-nilai agama.
Kesenanganku membaca dan olahraga menjadi semacam terapi fisik,
psikis dan sosial sekaligus. Pemulihan kondisi mentalku mengalami
kemajuan yang luar biasa. Saat pelaksanaan ujian akhir—saat yang paling
aku tunggu-tunggu sekaligus aku khawatirkan—suasana hatiku sedang dalam
keadaan stabil, hingga aku bisa melaksanakan ujian dengan baik dan
lancar. HFRasil ujianku juga lumayan baik, aku berada pada ranking 17 dari
40 siswa. Itulah hasil terbaik yang aku capai dengan susah payah. Bisa
lulus SMA dengan nilai yang cukup baik saja aku sudah sangat bersyukur.
Aku
ibarat lolos dari lubang jarum, mengingat kondisi kejiwaanku yang
kacau-balau tidak karuan selama ini. Andai saja aku tidak mengalami
gangguan jiwa berat, mungkin prestasiku bisa lebih baik lagi, bahkan
bukan tidak mungkin aku bisa lulus dengan nilai tertinggi. Namun
bagaimanapun hasilnya, itulah yang terbaik yang bisa aku capai.
Inilah
akhir derita batinku di SMA, masa yang seharusnya dipenuhi keceriaan
dan kegembiraan yang bertabur indah dan harumnya bunga-bunga masa
remaja. Masa yang disebut paling indah dalam kehidupan seseorang. Namun
masa yang indah ini harus aku lalui dengan derita psikis yang teramat
pedih dan menyiksa.