--- In bekakak@yahoogroups.com, [EMAIL PROTECTED] wrote: > > > trus um pe2nk nyank masih gentayangan ya ??.. iixix..ixixi > > um pe2nk ... stiker simpatisan bekakak 333 dah jadi blom ? > > rgds > ipoenk b > > > Horeeeeeee..... Akhirnya Mas Sampeyan Dan Teman Teman sudah sembuh dari penyakit jiwa, Jadi selama ini Sampeyan...!!!??? hahahah --- In bekakak@yahoogroups.com, "hendro cahyono" > >wrote: > >> > >> Ada tulisan bagus kiriman seorang teman, kali saja ada manfaatnya. > >> maaf kalo kepanjangan...... > >> > >> wassalam, > >> > >> > >> Aku Bangkit dari Sakit Jiwa 3 September 2007 - 7:36 WIB Liza > > Desylanhi > >> Sebut saja namaku Ardi. Kini usiaku menjelang 41 tahun. Aku > > bersyukur masih > >> bisa menikmati indahnya hidup ini. Ya, memang tak selengkap pria > > lain > >> seumurku. Hingga usiaku sekarang, ekonomiku belum mapan, tanpa > > titel atau > >> jabatan bergengsi. Tak banyak prestasi yang kuukir. > >> > >> Aku pria biasa-biasa saja. Padahal saat sekolah dulu, aku termasuk > > siswa > >> cerdas dengan segudang prestasi dan cita-cita. Aku ingin menjadi > > insiyur. > >> Aku sudah berangan-angan dapat mendirikan bangunan megah di kota > >> kelahiranku, Tanjung Pinang. Aku bayangkan, bangunan itu semegah > >> gedung-gedung yang berdiri angkuh di Jakarta. > >> > >> Namun tampaknya guratan tanganku berkata lain. Aku harus menjalani > > hidup > >> yang tak pernah sekali pun terbetik di benakku. Kehidupan yang > > membuatku > >> kehilangan masa depan, membuat keluargaku harus menanggung malu, > > dan > >> menghadapi pandangan sinis masyarakat sekitar. Mereka menyebutku > > orang gila. > >> Ya, aku memang mengalami sakit jiwa. Karena itu, aku menyendiri > > untuk waktu > >> yang lama. Aku nikmati duniaku sendiri, dunia orang gila, dunia > > yang tak > >> dipahami orang waras, termasuk kedua orang tuaku dan kelima kakak > > dan > >> seorang adikku. > >> > >> Aku terlahir secara normal di tengah keluarga berada dan bahagia > > pada 6 > >> November 1967. Bahkan, kata ibuku, suara tangisanku paling merdu > >> dibandingkan dengan tangisan bayi-bayi lain. Maka, tak > > mengherankan kalau > >> sampai sekarang aku suka sekali bernyanyi. Suaraku tak kalah dari > > suara > >> penyanyi terkenal. Selain bernyanyi aku juga piawai memetik gitar. > > Favoritku > >> lagu-lagu Bimbo dan Krisdayanti. Aku juga bisa memainkan musik > > klasik. Sejak > >> SMP hingga SMA aku sering didaulat menghibur dalam pentas seni di > > sekolah, > >> bahkan di tingkat kota. Bersyukur, dua keahlianku ini tak ikut > > direnggut > >> penyakit yang kuderita. Selama aku tinggal di Rumah Sakit Jiwa > > Grogol, > >> Jakarta Barat, kebiasaanku adalah bernyanyi dan main gitar. Hanya > > itu > >> kepandaian yang bisa kubanggakan. > >> > >> Kisah pahitku bermula pada tahun 1983. Saat itu seorang dokter > > muda di RSUD > >> Tanjung Pinang salah memberiku obat. Ketika itu aku yang duduk di > > kelas II > >> SMP terserang flu berat. Dokter muda itu memberiku obat Reactivan. > > Obat > >> tersebut biasa digunakan untuk orang yang mengalami depresi. Sejak > > minum > >> obat itu, pikiranku tak bisa fokus, otakku terasa akan meledak > > Lalu, > >> tiba-tiba aku merasa menjadi orang paling pintar. Aku kesulitan > >> mengendalikan diri. Sering gelisah. Perangaiku pun berubah. Aku > > mudah marah > >> dan sedih, tanpa alasan jelas. Parahnya lagi, aku tak bisa > > berkonsentrasi > >> dalam belajar. Aku mulai sering mendengar suara-suara gaib. Aku > > tak kenal > >> lagi diriku. > >> > >> Ayahku yang seorang kepala administrasi di RSUD Tanjung Pinang > > segera > >> membawaku ke RS Adityawarman, Padang, Sumatera Barat. Aku dirawat > > selama > >> beberapa minggu. Dokter menyatakan pengaruh Reactivan yang kuminum > > sudah tak > >> ada di otakku. Aku pun diperbolehkan pulang. Tentu dengan syarat > > aku mesti > >> rajin minum empat buah pil warna pink, oranye, dan putih tiga kali > > sehari, > >> tanpa sekali pun boleh alpa. > >> > >> Namun, aku kerap absen meminum obat. Toh aku merasa sudah sembuh > > dan badanku > >> sehat. Aku tak segan menghardik dan memarahi ibuku. Rasanya saat > > itu aku > >> melakukan hal yang benar. Menghardik ibu, ayah, dan kakak- kakakku. > >> > >> Rupanya perangaiku itu merupakan tanda awal kambuhnya penyakit > > jiwaku. Aku > >> pun kembali kehilangan diriku. Kali ini lebih parah, aku mulai > > mengamuk. Aku > >> mendengar suara-suara gaib, waham, dan halusinasi. Waham adalah > > perasaan > >> yang salah dalam hati yang dipertahankan. Aku merasa menjadi orang > > paling > >> kuat, paling benar, dan harus dihormati oleh siapa pun. > >> > >> Akhirnya aku kembali dibawa ke rumah sakit. Kali ini aku berobat > > di RS > >> Yaumil Padang. Setelah dirawat beberapa hari, aku kembali pulang. > > Selain > >> minum obat, setiap bulan aku mesti menjalani pemeriksaan medis di > > rumah > >> sakit itu. Kali ini ibuku tak mau kompromi, aku harus menelan pil- > > pil itu. > >> Apalagi ujian SMP sudah di depan mata. Beliau tak mau aku gagal. > >> > >> Selama beberapa bulan aku menuruti permintaan ibuku untuk menelan > > obat. > >> Hasilnya, aku bisa kembali hidup normal, bisa mengikuti pelajaran > > walaupun > >> tak sebaik sebelum aku sakit. Teman-teman yang sebelumnya menjauhi > > karena > >> takut padaku, kini kembali mendekat. Aku lega sekali. Aku berusaha > > belajar > >> dengan baik, meskipun sulit konsentrasi. Bagaimana tidak? Karena > > aku selalu > >> minum obat penenang, aku kesulitan berkonsentrasi. Untung saja > > guru dan > >> teman-teman sekolahku memahami kondisiku. Mereka membantuku > > mengatasi > >> ketertinggalanku. Meski susah payah aku terus mencoba. Aku tak > > ingin > >> mengecewakan orang tua, guru, dan teman-teman sekolahku. > >> > >> Karena merasa terlalu terbebani, menjelang ujian kelulusan SMP > > penyakitku > >> kambuh kembali. Aku mengalami depresi berat. Tiba-tiba aku bisu > > selama > >> beberapa minggu. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutku. > > Akibatnya aku tak > >> bisa mengikuti ujian. Aku tak lulus. > >> > >> Tak terlukiskan kesedihan dan kepedihan yang kualami. Aku kembali > > dirawat. > >> Kali ini ayah membawaku berobat ke Jakarta di RS Jiwa Grogol. > > Setelah > >> sembuh, aku pun kembali ke Tanjung Pinang untuk menamatkan SMP- ku. > > Tapi > >> rupanya otakku telah bebal. Lagi-lagi aku gagal lulus ujian. Aku > > tak mampu > >> menjawab soal-soal ujian. Berkat dukungan penuh ayah, ibu, dan > >> saudara-saudaraku, aku kembali mencoba mengikuti ujian pada tahun > >> berikutnya. Syukurlah, akhirnya aku lulus, meski dengan nilai pas- > > pasan. > >> > >> Kelulusanku itu membuat aku kembali terpacu untuk meneruskan > > sekolah. Aku > >> masuk sekolah menengah atas negeri di kotaku. Aku berusaha hidup > > senormal > >> mungkin, meskipun kemampuanku memahami pelajaran semakin merosot. > > Aku > >> berusaha menjadi remaja normal. Aku sempat merajut kasih dengan > > gadis manis > >> teman sekolah. Sayang sekali jalinan cinta kami tak lama bertaut. > > Setelah > >> hampir setahun berhubungan, kami putus. Ia tak sanggup menghadapi > > perangaiku > >> yang mudah sekali berubah-ubah. Sebentar gembira, ceria, sedih, > > dan di lain > >> waktu marah-marah. Belum lagi cemoohan teman-teman membuat kami > > semakin > >> tertekan. > >> > >> Masa SMA jauh lebih berat buatku. Banyak teman yang tak memahami > > aku. > >> Akibatnya aku sering sekali depresi. Mulai muncul pikiran- pikiran > > buruk di > >> benakku. Aku ingin mati. Rasanya itu yang benar. Semakin keras aku > > berusaha > >> mengenyahkannya, pikiran itu semakin kuat menghantui. Akhirnya, > > suatu siang > >> sepulang sekolah, di kamarku di lantai dua, aku memutuskan untuk > > benar-benar > >> melakukannya. Tanpa ragu aku menenggak segelas obat pembasmi > > serangga. > >> Rupanya badanku tak menerima cairan beracun itu. Aku muntah- muntah > > hebat. > >> Saat itulah pembantu menemukan aku yang sedang kepayahan. Aku > > segera > >> dilarikan ke rumah sakit. Di sini tangan dan kakiku diikat. Kejam > >> kedengarannya ya. Tapi ini untuk kebaikanku sendiri agar tak > > membahayakan > >> diri sendiri. Aku sering keluar masuk banyak rumah sakit di > > Jakarta dan > >> Padang. > >> > >> Dengan susah payah aku lulus SMA. Tentu saja dengan nilai yang tak > >> memuaskan. Tapi paling tidak aku bahagia bisa membuat ibuku > > bangga. Putra > >> yang sering dicemooh gila ini berhasil menyelesaikan pendidikan. > > Aku masih > >> sering berhalusinasi dan mempunyai waham. Aku kembali enggan > > meminum obat. > >> Perangaiku kembali memburuk. Aku mulai menyerang. Siapa pun > > kupukul. Aku > >> jadi jahat. Aku kembali dimasukkan RS. Kali ini aku dirawat di > > klinik khusus > >> penderita sakit jiwa di Ciganjur, Jakarta Selatan. Tapi di sini > > aku tak > >> mendapat perawatan sebaik yang diharapkan orang tuaku. Aku sering > > sekali > >> dipukul saat menolak meminum obat. Ini membuat perangaiku semakin > > brutal. > >> Terakhir, aku bertingkah bak seorang miliarder. Dengan berjalan > > kaki dari > >> rumah orang tuaku di Tanggerang, aku menuju Menara Saidah di Jalan > > MT > >> Haryono, Jakarta Selatan hendak menagih uang Rp 2 miliar. Tentu > > saja aksiku > >> ini membuat panik keluargaku. > >> > >> Akhirnya orang tuaku memindahkan aku ke RSJ Dr Soeharto Heerdjan > > atau orang > >> mengenalnya RSJ Grogol. Di rumah sakit ini aku tercatat sebagai > > pasien > >> kambuhan. Sudah beberapa kali aku berobat di sini. Hari pertama > > masuk, aku > >> langsung menempati kamar isolasi. Kamar yang hanya berukuran 2,5 x > > 4 meter > >> dengan sebuah tempat tidur dan kamar mandi. Di ruangan ini aku > > sering > >> mengamuk. Tapi untung tak lama, setelah disuntik, dan rajin > > meminum obat aku > >> pun kembali tenang. Aku pun meninggalkan ruangan sempit dan > > mengerikan itu. > >> Akhirnya aku bisa berinteraksi dengan penghuni kamar lainnya. > >> > >> Rupanya di sinilah aku menemukan perawatan yang cocok. Obat yang > > harus > >> kuminum sama. Tetapi metode perawatannya yang berbeda. Di sini aku > > tak > >> pernah merasa dipaksa, terutama saat minum obat. Asal tahu saja, > > semua > >> penderita sakit jiwa tak boleh lepas dari meminum obat sehari tiga > > kali dan > >> obat suntik sebulan sekali. Ini untuk mengendalikan emosi kami. > > Membuat kami > >> jadi tenang. Kata dokter Fidiansjah, tak ada kata sembuh bagi > > pasien sakit > >> jiwa. Yang ada adalah terkontrol. Perawat berupaya menyadarkan > > betapa > >> penting obat bagiku. Tapi saat aku mengalami waham dan halusinasi > > tentu > >> susah membuatku mengerti. Karena itu perlu kesabaran tingkat > > tinggi untuk > >> menghadapi aku. Perlahan aku mulai sering curhat dengan perawat. > > Ini juga > >> merupakan bagian dari pengobatan, selain minum obat. Apa pun yang > > ada > >> dibenakku, kucurahkan. > >> > >> Momen yang membuatku semakin menguatkan tekad untuk sembuh adalah > > ketika > >> perawat favoritku menitikkan air mata sambil berkata, "Ardi, > > sampai kapan > >> kamu mau begini terus? Kamu sudah terlalu lama tenggelam dalam > > duniamu yang > >> gelap." Aku tertegun, Suster Wini begitu sedih melihat keadaanku. > > Orang lain > >> saja begitu peduli pada diriku, kenapa aku tidak? Aku pun bertanya > >> kepadanya, apa yang harus kulakukan agar bisa sembuh. Ia bilang, > > aku harus > >> berusaha mengenyahkan halusinasi dan waham yang kumiliki. Makanya, > > setiap ia > >> muncul, segera kubuang jauh-jauh, kualihkan perhatianku atau > > kuadukan pada > >> perawat. Selain itu, aku tak boleh melamun. Bisa berbahaya. Itu > > bisa > >> mengundang halusinasi datang. Makanya aku rajin mengikuti > > aktivitas kelompok > >> di RS, bersama teman-teman yang lain. Entah itu senam, curhat, > > ataupun > >> sekadar nonton televisi. Di RS ini aku masih sempat menyalurkan > > hobiku yang > >> lain, yakni main pingpong dan catur. Bahkan, pada acara 17 Agustus > > tahun > >> lalu aku menjadi juara pertama pertandingan catur dan pingpong. > >> > >> Kini aku bersyukur, sudah 1,5 tahun ini aku sembuh. Tak pernah > > lagi aku > >> marah-marah ataupun berhalusinasi. Tetapi tetap harus disiplin > > meminum obat > >> tiga kali sehari dan suntik setiap bulan. Aku pasrah, seumur hidup > > aku > >> bergantung pada butiran warna-warni itu. Meski terdengar tak > > menyenangkan, > >> bagiku meminum obat adalah saat paling menyenangkan karena > > membuatku tetap > >> mempunyai harapan. Harapan terhadap kehidupan. Belasan tahun sudah > > aku > >> kehilangan hidupku. Itu sudah cukup. > >> > >> Kini aku harus memulai lagi hidupku yang sempat terhenti. Dan aku > > memulainya > >> di sini, di RS Jiwa Dr Soeharto Heerdjan. Sebagai bentuk rasa > > syukur dan > >> terima kasihku atas kesempatan menjalani hidup normal ini, sudah > > hampir > >> setahun aku membantu perawat menjadi teman curhat bagi teman- > > temanku yang > >> lain. Istilahnya aku bekerja *day care *di sini. Setiap pagi Senin > > hingga > >> Jumat aku berangkat ke rumah sakit dengan menggunakan bus umum. > > Pada pukul > >> satu siang aku pun pulang ke rumah. Aku bisa membantu teman- > > temanku keluar > >> dari dunianya yang menurut mereka mengasyikkan, yang mereka pikir > > membuat > >> mereka bahagia. Aku pernah merasakan apa yang mereka rasakan, jadi > > kuharap > >> trikku jitu. Tidak mudah memang, tapi aku tak mau menyerah. Jika > > hari ini > >> mereka belum mau mendengarku, masih ada hari esok. > >> > >> Di sini, aku diberi honor setiap minggu Rp 125 ribu. Lumayanlah > > untuk ongkos > >> pergi-pulang ke rumahku di Tangerang. Apalagi ibuku masih > > membekali aku Rp > >> 400 ribu setiap bulan. Uang itu kutabung untuk biaya pernikahanku > > kelak. Ya, > >> aku masih memendam cita-cita untuk berumah tangga. Dan atas ijin- > > Nya, akhir > >> tahun ini aku akan meminang seorang gadis manis, kakak temanku. Aku > >> bersyukur dia mau menerima masa laluku yang berat. > >> > >> Selain bisa membantu teman-temanku, mendapat honor, aku juga > > senang bisa > >> bekerja di sini, untuk terus mengingatkanku betapa beruntungnya > > aku. > >> Keluargaku tak pernah hilang harapan melihat aku sembuh. Mereka > > mendukungku > >> 100 persen. Tak seperti sebagian temanku yang "ditelantarkan" > > keluarganya di > >> sini, tak pernah dijenguk. Tampaknya keluarga mereka malu dan > > takut terhadap > >> stigma masyarakat. > >> > >> Jika keluarga dan masyarakat sekitar tak mendukung, pasien sakit > > jiwa tak > >> akan pernah sembuh. Meski sudah keluar dari rumah sakit, kami tetap > >> membutuhkan dukungan dan kesempatan. Jangan lihat kami dengan > > pandangan > >> sinis. Kami juga ingin sembuh. Beri kami kesempatan dan ruang. > > Jangan terus > >> memperolok kami. > >> > >> Biarlah aku tak bisa membuat bangunan megah seperti arsitek itu. > > Aku hanya > >> bisa membagi pengalamanku kepada semua orang. Tak mengapa. Dengan > > begini > >> saja aku sudah merasa sangat berguna. Aku ingin seumur hidupku > > habiskan > >> dengan bekerja di RS ini. Teman-temanku yang lain juga bisa > > mendapatkan > >> kesempatan dan dukungan seperti yang kudapatkan. Aku ingin > > masyarakat > >> mengerti, kami bukan penyakit masyarakat yang harus dibuang dan > > dilupakan. > >> Hanya itu keinginanku. Aku pun telah mengubur dalam-dalam segala > > pedih, > >> dendam, dan sakit hati karena stigma itu. Aku telah memaafkanya. > > Aku yakin > >> Tuhan pasti punya rencana indah bagiku. (*) > >> > >> - Dituliskan oleh Liza Desylanhi atas penuturan Ardi. > >> > >> http://www.vhrmedia.com/vhr-story/lakon- > > detail.php?.g=stories&.s=lakon&.e=16 > >> > >> -- > >> hendro > >> 0812 841 8958 > >> http://ryolix.multiply.com/ > >> [EMAIL PROTECTED] > >>
Minggu, 17 Maret 2013
bangkit dari masa lalu dan depresi berat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar