Minggu, 17 Maret 2013

bangkit dari masa lalu dan depresi berat

--- In bekakak@yahoogroups.com, [EMAIL PROTECTED] wrote:
>
> 
> trus um pe2nk nyank masih gentayangan ya ??.. iixix..ixixi
> 
> um pe2nk ... stiker simpatisan bekakak 333 dah jadi blom ?
> 
> rgds
> ipoenk b
> 
> 
> 
Horeeeeeee..... Akhirnya Mas Sampeyan Dan Teman Teman sudah 
sembuh
 dari penyakit jiwa, Jadi selama ini Sampeyan...!!!??? hahahah
 --- In bekakak@yahoogroups.com, "hendro cahyono"
> >  wrote:
> >>
> >> Ada tulisan bagus kiriman seorang teman, kali saja ada 
manfaatnya.
> >> maaf kalo kepanjangan......
> >>
> >> wassalam,
> >>
> >>
> >> Aku Bangkit dari Sakit Jiwa 3 September 2007 - 7:36 WIB Liza
> > Desylanhi
> >> Sebut saja namaku Ardi. Kini usiaku menjelang 41 tahun. Aku
> > bersyukur masih
> >> bisa menikmati indahnya hidup ini. Ya, memang tak selengkap pria
> > lain
> >> seumurku. Hingga usiaku sekarang, ekonomiku belum mapan, tanpa
> > titel atau
> >> jabatan bergengsi. Tak banyak prestasi yang kuukir.
> >>
> >> Aku pria biasa-biasa saja. Padahal saat sekolah dulu, aku 
termasuk
> > siswa
> >> cerdas dengan segudang prestasi dan cita-cita. Aku ingin menjadi
> > insiyur.
> >> Aku sudah berangan-angan dapat mendirikan bangunan megah di kota
> >> kelahiranku, Tanjung Pinang. Aku bayangkan, bangunan itu semegah
> >> gedung-gedung yang berdiri angkuh di Jakarta.
> >>
> >> Namun tampaknya guratan tanganku berkata lain. Aku harus 
menjalani
> > hidup
> >> yang tak pernah sekali pun terbetik di benakku. Kehidupan yang
> > membuatku
> >> kehilangan masa depan, membuat keluargaku harus menanggung malu,
> > dan
> >> menghadapi pandangan sinis masyarakat sekitar. Mereka menyebutku
> > orang gila.
> >> Ya, aku memang mengalami sakit jiwa. Karena itu, aku menyendiri
> > untuk waktu
> >> yang lama. Aku nikmati duniaku sendiri, dunia orang gila, dunia
> > yang tak
> >> dipahami orang waras, termasuk kedua orang tuaku dan kelima 
kakak
> > dan
> >> seorang adikku.
> >>
> >> Aku terlahir secara normal di tengah keluarga berada dan bahagia
> > pada 6
> >> November 1967. Bahkan, kata ibuku, suara tangisanku paling merdu
> >> dibandingkan dengan tangisan bayi-bayi lain. Maka, tak
> > mengherankan kalau
> >> sampai sekarang aku suka sekali bernyanyi. Suaraku tak kalah 
dari
> > suara
> >> penyanyi terkenal. Selain bernyanyi aku juga piawai memetik 
gitar.
> > Favoritku
> >> lagu-lagu Bimbo dan Krisdayanti. Aku juga bisa memainkan musik
> > klasik. Sejak
> >> SMP hingga SMA aku sering didaulat menghibur dalam pentas seni 
di
> > sekolah,
> >> bahkan di tingkat kota. Bersyukur, dua keahlianku ini tak ikut
> > direnggut
> >> penyakit yang kuderita. Selama aku tinggal di Rumah Sakit Jiwa
> > Grogol,
> >> Jakarta Barat, kebiasaanku adalah bernyanyi dan main gitar. 
Hanya
> > itu
> >> kepandaian yang bisa kubanggakan.
> >>
> >> Kisah pahitku bermula pada tahun 1983. Saat itu seorang dokter
> > muda di RSUD
> >> Tanjung Pinang salah memberiku obat. Ketika itu aku yang duduk 
di
> > kelas II
> >> SMP terserang flu berat. Dokter muda itu memberiku obat 
Reactivan.
> > Obat
> >> tersebut biasa digunakan untuk orang yang mengalami depresi. 
Sejak
> > minum
> >> obat itu, pikiranku tak bisa fokus, otakku terasa akan meledak
> > Lalu,
> >> tiba-tiba aku merasa menjadi orang paling pintar. Aku kesulitan
> >> mengendalikan diri. Sering gelisah. Perangaiku pun berubah. Aku
> > mudah marah
> >> dan sedih, tanpa alasan jelas. Parahnya lagi, aku tak bisa
> > berkonsentrasi
> >> dalam belajar. Aku mulai sering mendengar suara-suara gaib. Aku
> > tak kenal
> >> lagi diriku.
> >>
> >> Ayahku yang seorang kepala administrasi di RSUD Tanjung Pinang
> > segera
> >> membawaku ke RS Adityawarman, Padang, Sumatera Barat. Aku 
dirawat
> > selama
> >> beberapa minggu. Dokter menyatakan pengaruh Reactivan yang 
kuminum
> > sudah tak
> >> ada di otakku. Aku pun diperbolehkan pulang. Tentu dengan syarat
> > aku mesti
> >> rajin minum empat buah pil warna pink, oranye, dan putih tiga 
kali
> > sehari,
> >> tanpa sekali pun boleh alpa.
> >>
> >> Namun, aku kerap absen meminum obat. Toh aku merasa sudah sembuh
> > dan badanku
> >> sehat. Aku tak segan menghardik dan memarahi ibuku. Rasanya saat
> > itu aku
> >> melakukan hal yang benar. Menghardik ibu, ayah, dan kakak-
kakakku.
> >>
> >> Rupanya perangaiku itu merupakan tanda awal kambuhnya penyakit
> > jiwaku. Aku
> >> pun kembali kehilangan diriku. Kali ini lebih parah, aku mulai
> > mengamuk. Aku
> >> mendengar suara-suara gaib, waham, dan halusinasi. Waham adalah
> > perasaan
> >> yang salah dalam hati yang dipertahankan. Aku merasa menjadi 
orang
> > paling
> >> kuat, paling benar, dan harus dihormati oleh siapa pun.
> >>
> >> Akhirnya aku kembali dibawa ke rumah sakit. Kali ini aku berobat
> > di RS
> >> Yaumil Padang. Setelah dirawat beberapa hari, aku kembali 
pulang.
> > Selain
> >> minum obat, setiap bulan aku mesti menjalani pemeriksaan medis 
di
> > rumah
> >> sakit itu. Kali ini ibuku tak mau kompromi, aku harus menelan 
pil-
> > pil itu.
> >> Apalagi ujian SMP sudah di depan mata. Beliau tak mau aku gagal.
> >>
> >> Selama beberapa bulan aku menuruti permintaan ibuku untuk 
menelan
> > obat.
> >> Hasilnya, aku bisa kembali hidup normal, bisa mengikuti 
pelajaran
> > walaupun
> >> tak sebaik sebelum aku sakit. Teman-teman yang sebelumnya 
menjauhi
> > karena
> >> takut padaku, kini kembali mendekat. Aku lega sekali. Aku 
berusaha
> > belajar
> >> dengan baik, meskipun sulit konsentrasi. Bagaimana tidak? Karena
> > aku selalu
> >> minum obat penenang, aku kesulitan berkonsentrasi. Untung saja
> > guru dan
> >> teman-teman sekolahku memahami kondisiku. Mereka membantuku
> > mengatasi
> >> ketertinggalanku. Meski susah payah aku terus mencoba. Aku tak
> > ingin
> >> mengecewakan orang tua, guru, dan teman-teman sekolahku.
> >>
> >> Karena merasa terlalu terbebani, menjelang ujian kelulusan SMP
> > penyakitku
> >> kambuh kembali. Aku mengalami depresi berat. Tiba-tiba aku bisu
> > selama
> >> beberapa minggu. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutku.
> > Akibatnya aku tak
> >> bisa mengikuti ujian. Aku tak lulus.
> >>
> >> Tak terlukiskan kesedihan dan kepedihan yang kualami. Aku 
kembali
> > dirawat.
> >> Kali ini ayah membawaku berobat ke Jakarta di RS Jiwa Grogol.
> > Setelah
> >> sembuh, aku pun kembali ke Tanjung Pinang untuk menamatkan SMP-
ku.
> > Tapi
> >> rupanya otakku telah bebal. Lagi-lagi aku gagal lulus ujian. Aku
> > tak mampu
> >> menjawab soal-soal ujian. Berkat dukungan penuh ayah, ibu, dan
> >> saudara-saudaraku, aku kembali mencoba mengikuti ujian pada 
tahun
> >> berikutnya. Syukurlah, akhirnya aku lulus, meski dengan nilai 
pas-
> > pasan.
> >>
> >> Kelulusanku itu membuat aku kembali terpacu untuk meneruskan
> > sekolah. Aku
> >> masuk sekolah menengah atas negeri di kotaku. Aku berusaha hidup
> > senormal
> >> mungkin, meskipun kemampuanku memahami pelajaran semakin 
merosot.
> > Aku
> >> berusaha menjadi remaja normal. Aku sempat merajut kasih dengan
> > gadis manis
> >> teman sekolah. Sayang sekali jalinan cinta kami tak lama 
bertaut.
> > Setelah
> >> hampir setahun berhubungan, kami putus. Ia tak sanggup 
menghadapi
> > perangaiku
> >> yang mudah sekali berubah-ubah. Sebentar gembira, ceria, sedih,
> > dan di lain
> >> waktu marah-marah. Belum lagi cemoohan teman-teman membuat kami
> > semakin
> >> tertekan.
> >>
> >> Masa SMA jauh lebih berat buatku. Banyak teman yang tak memahami
> > aku.
> >> Akibatnya aku sering sekali depresi. Mulai muncul pikiran-
pikiran
> > buruk di
> >> benakku. Aku ingin mati. Rasanya itu yang benar. Semakin keras 
aku
> > berusaha
> >> mengenyahkannya, pikiran itu semakin kuat menghantui. Akhirnya,
> > suatu siang
> >> sepulang sekolah, di kamarku di lantai dua, aku memutuskan untuk
> > benar-benar
> >> melakukannya. Tanpa ragu aku menenggak segelas obat pembasmi
> > serangga.
> >> Rupanya badanku tak menerima cairan beracun itu. Aku muntah-
muntah
> > hebat.
> >> Saat itulah pembantu menemukan aku yang sedang kepayahan. Aku
> > segera
> >> dilarikan ke rumah sakit. Di sini tangan dan kakiku diikat. 
Kejam
> >> kedengarannya ya. Tapi ini untuk kebaikanku sendiri agar tak
> > membahayakan
> >> diri sendiri. Aku sering keluar masuk banyak rumah sakit di
> > Jakarta dan
> >> Padang.
> >>
> >> Dengan susah payah aku lulus SMA. Tentu saja dengan nilai yang 
tak
> >> memuaskan. Tapi paling tidak aku bahagia bisa membuat ibuku
> > bangga. Putra
> >> yang sering dicemooh gila ini berhasil menyelesaikan pendidikan.
> > Aku masih
> >> sering berhalusinasi dan mempunyai waham. Aku kembali enggan
> > meminum obat.
> >> Perangaiku kembali memburuk. Aku mulai menyerang. Siapa pun
> > kupukul. Aku
> >> jadi jahat. Aku kembali dimasukkan RS. Kali ini aku dirawat di
> > klinik khusus
> >> penderita sakit jiwa di Ciganjur, Jakarta Selatan. Tapi di sini
> > aku tak
> >> mendapat perawatan sebaik yang diharapkan orang tuaku. Aku 
sering
> > sekali
> >> dipukul saat menolak meminum obat. Ini membuat perangaiku 
semakin
> > brutal.
> >> Terakhir, aku bertingkah bak seorang miliarder. Dengan berjalan
> > kaki dari
> >> rumah orang tuaku di Tanggerang, aku menuju Menara Saidah di 
Jalan
> > MT
> >> Haryono, Jakarta Selatan hendak menagih uang Rp 2 miliar. Tentu
> > saja aksiku
> >> ini membuat panik keluargaku.
> >>
> >> Akhirnya orang tuaku memindahkan aku ke RSJ Dr Soeharto Heerdjan
> > atau orang
> >> mengenalnya RSJ Grogol. Di rumah sakit ini aku tercatat sebagai
> > pasien
> >> kambuhan. Sudah beberapa kali aku berobat di sini. Hari pertama
> > masuk, aku
> >> langsung menempati kamar isolasi. Kamar yang hanya berukuran 
2,5 x
> > 4 meter
> >> dengan sebuah tempat tidur dan kamar mandi. Di ruangan ini aku
> > sering
> >> mengamuk. Tapi untung tak lama, setelah disuntik, dan rajin
> > meminum obat aku
> >> pun kembali tenang. Aku pun meninggalkan ruangan sempit dan
> > mengerikan itu.
> >> Akhirnya aku bisa berinteraksi dengan penghuni kamar lainnya.
> >>
> >> Rupanya di sinilah aku menemukan perawatan yang cocok. Obat yang
> > harus
> >> kuminum sama. Tetapi metode perawatannya yang berbeda. Di sini 
aku
> > tak
> >> pernah merasa dipaksa, terutama saat minum obat. Asal tahu saja,
> > semua
> >> penderita sakit jiwa tak boleh lepas dari meminum obat sehari 
tiga
> > kali dan
> >> obat suntik sebulan sekali. Ini untuk mengendalikan emosi kami.
> > Membuat kami
> >> jadi tenang. Kata dokter Fidiansjah, tak ada kata sembuh bagi
> > pasien sakit
> >> jiwa. Yang ada adalah terkontrol. Perawat berupaya menyadarkan
> > betapa
> >> penting obat bagiku. Tapi saat aku mengalami waham dan 
halusinasi
> > tentu
> >> susah membuatku mengerti. Karena itu perlu kesabaran tingkat
> > tinggi untuk
> >> menghadapi aku. Perlahan aku mulai sering curhat dengan perawat.
> > Ini juga
> >> merupakan bagian dari pengobatan, selain minum obat. Apa pun 
yang
> > ada
> >> dibenakku, kucurahkan.
> >>
> >> Momen yang membuatku semakin menguatkan tekad untuk sembuh 
adalah
> > ketika
> >> perawat favoritku menitikkan air mata sambil berkata, "Ardi,
> > sampai kapan
> >> kamu mau begini terus? Kamu sudah terlalu lama tenggelam dalam
> > duniamu yang
> >> gelap." Aku tertegun, Suster Wini begitu sedih melihat 
keadaanku.
> > Orang lain
> >> saja begitu peduli pada diriku, kenapa aku tidak? Aku pun 
bertanya
> >> kepadanya, apa yang harus kulakukan agar bisa sembuh. Ia bilang,
> > aku harus
> >> berusaha mengenyahkan halusinasi dan waham yang kumiliki. 
Makanya,
> > setiap ia
> >> muncul, segera kubuang jauh-jauh, kualihkan perhatianku atau
> > kuadukan pada
> >> perawat. Selain itu, aku tak boleh melamun. Bisa berbahaya. Itu
> > bisa
> >> mengundang halusinasi datang. Makanya aku rajin mengikuti
> > aktivitas kelompok
> >> di RS, bersama teman-teman yang lain. Entah itu senam, curhat,
> > ataupun
> >> sekadar nonton televisi. Di RS ini aku masih sempat menyalurkan
> > hobiku yang
> >> lain, yakni main pingpong dan catur. Bahkan, pada acara 17 
Agustus
> > tahun
> >> lalu aku menjadi juara pertama pertandingan catur dan pingpong.
> >>
> >> Kini aku bersyukur, sudah 1,5 tahun ini aku sembuh. Tak pernah
> > lagi aku
> >> marah-marah ataupun berhalusinasi. Tetapi tetap harus disiplin
> > meminum obat
> >> tiga kali sehari dan suntik setiap bulan. Aku pasrah, seumur 
hidup
> > aku
> >> bergantung pada butiran warna-warni itu. Meski terdengar tak
> > menyenangkan,
> >> bagiku meminum obat adalah saat paling menyenangkan karena
> > membuatku tetap
> >> mempunyai harapan. Harapan terhadap kehidupan. Belasan tahun 
sudah
> > aku
> >> kehilangan hidupku. Itu sudah cukup.
> >>
> >> Kini aku harus memulai lagi hidupku yang sempat terhenti. Dan 
aku
> > memulainya
> >> di sini, di RS Jiwa Dr Soeharto Heerdjan. Sebagai bentuk rasa
> > syukur dan
> >> terima kasihku atas kesempatan menjalani hidup normal ini, sudah
> > hampir
> >> setahun aku membantu perawat menjadi teman curhat bagi teman-
> > temanku yang
> >> lain. Istilahnya aku bekerja *day care *di sini. Setiap pagi 
Senin
> > hingga
> >> Jumat aku berangkat ke rumah sakit dengan menggunakan bus umum.
> > Pada pukul
> >> satu siang aku pun pulang ke rumah. Aku bisa membantu teman-
> > temanku keluar
> >> dari dunianya yang menurut mereka mengasyikkan, yang mereka 
pikir
> > membuat
> >> mereka bahagia. Aku pernah merasakan apa yang mereka rasakan, 
jadi
> > kuharap
> >> trikku jitu. Tidak mudah memang, tapi aku tak mau menyerah. Jika
> > hari ini
> >> mereka belum mau mendengarku, masih ada hari esok.
> >>
> >> Di sini, aku diberi honor setiap minggu Rp 125 ribu. Lumayanlah
> > untuk ongkos
> >> pergi-pulang ke rumahku di Tangerang. Apalagi ibuku masih
> > membekali aku Rp
> >> 400 ribu setiap bulan. Uang itu kutabung untuk biaya 
pernikahanku
> > kelak. Ya,
> >> aku masih memendam cita-cita untuk berumah tangga. Dan atas 
ijin-
> > Nya, akhir
> >> tahun ini aku akan meminang seorang gadis manis, kakak temanku. 
Aku
> >> bersyukur dia mau menerima masa laluku yang berat.
> >>
> >> Selain bisa membantu teman-temanku, mendapat honor, aku juga
> > senang bisa
> >> bekerja di sini, untuk terus mengingatkanku betapa beruntungnya
> > aku.
> >> Keluargaku tak pernah hilang harapan melihat aku sembuh. Mereka
> > mendukungku
> >> 100 persen. Tak seperti sebagian temanku yang "ditelantarkan"
> > keluarganya di
> >> sini, tak pernah dijenguk. Tampaknya keluarga mereka malu dan
> > takut terhadap
> >> stigma masyarakat.
> >>
> >> Jika keluarga dan masyarakat sekitar tak mendukung, pasien sakit
> > jiwa tak
> >> akan pernah sembuh. Meski sudah keluar dari rumah sakit, kami 
tetap
> >> membutuhkan dukungan dan kesempatan. Jangan lihat kami dengan
> > pandangan
> >> sinis. Kami juga ingin sembuh. Beri kami kesempatan dan ruang.
> > Jangan terus
> >> memperolok kami.
> >>
> >> Biarlah aku tak bisa membuat bangunan megah seperti arsitek itu.
> > Aku hanya
> >> bisa membagi pengalamanku kepada semua orang. Tak mengapa. 
Dengan
> > begini
> >> saja aku sudah merasa sangat berguna. Aku ingin seumur hidupku
> > habiskan
> >> dengan bekerja di RS ini. Teman-temanku yang lain juga bisa
> > mendapatkan
> >> kesempatan dan dukungan seperti yang kudapatkan. Aku ingin
> > masyarakat
> >> mengerti, kami bukan penyakit masyarakat yang harus dibuang dan
> > dilupakan.
> >> Hanya itu keinginanku. Aku pun telah mengubur dalam-dalam segala
> > pedih,
> >> dendam, dan sakit hati karena stigma itu. Aku telah memaafkanya.
> > Aku yakin
> >> Tuhan pasti punya rencana indah bagiku. (*)
> >>
> >> - Dituliskan oleh Liza Desylanhi atas penuturan Ardi.
> >>
> >> http://www.vhrmedia.com/vhr-story/lakon-
> > detail.php?.g=stories&.s=lakon&.e=16
> >>
> >> --
> >> hendro
> >> 0812 841 8958
> >> http://ryolix.multiply.com/
> >> [EMAIL PROTECTED]
> >>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar